[aioseo_breadcrumbs]

Candu Kekuasaan Kepala Desa

swapraj1 - Selasa, 31 Januari 2023 | 04:49 WIB

Post View : 116

iklan-1200-238

Oleh : Fajlurrahman Jurdi Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Candu adalah getah kering pahit berwarna cokelat kekuning-kuningan yang diambil dari buah Papaver somniferum, dapat mengurangi rasa nyeri dan merangsang rasa kantuk serta “menimbulkan rasa ketagihan bagi yang sering menggunakannya” (KBBI). Bagi mereka yang sudah kecanduan, maka dapat dipastikan, mereka akan memiliki ketergantungan atas suatu obyek tertentu.

Bagi peminum kopi, bila ia di setiap pagi terbiasa minum kopi, lalu tiba-tiba dua atau tiga hari berhenti meminum kopi, maka mungkin akan mengalami sakit kepala atau gejala lain. Gejala ini disebut sebagai “kecanduan kopi”. Bagi perokok yang sulit berhenti dari rokok, padahal secara pribadi ia berusaha untuk berhenti, tetapi ketergantungannya sama rokok membuatnya sulit meninggalkan rokok, maka ia adalah pecandu rokok.

Bagi sebagian yang karena “keberlimpahan” jaringan, keluarga dan nasib baik, ia diberi tanggungjawab untuk memegang kekuasaan dengan batas-batas waktu tertentu berdasarkan periodesasi yang diatur secara hukum.  Jika batas waktu berhenti itu mulai dekat, ia menggunakan segala macam cara untuk tetap bertahan, maka itu merupakan gejala candu kekuasaan. 

Fenomena lain dari candu kekuasaan ini adalah begitu banyak orang yang menumpuk jabatan. Seseorang karena sudah terlanjur menjadi ketua atau pimpinan di satu tempat, dia akan memburu lagi jabatan ketua atau pimpinan di tempat lain. Dengan demikian, satu orang kadang bisa memegang banyak jabatan yang ia tumpuk di pundaknya, meskipun dia tidak bisa mengelola jabatan tersebut. Ini juga disebut sebagai candu kekuasaan.

Baca Juga :  *Tandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah Bupati Barru Dukung Pelaksanaan Pilkada

Ketergantungan terhadap kekuasaan membuat banyak orang jatuh dan terperangkap pada sigap egois, korup dan manipulatif. Demi dan atas nama bertahan agar kekuasaannya berusia panjang dan cenderung sentralistik, seseorang akan dengan mudah melanggar hukum dan moral. Keduanya dicampakkan agar kekuasaan benar-benar bertahan dan tak terjamah.

Kepala Desa Kecanduan Kekuasaan

Demonstrasi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) di gedung DPR pada 17 Januari 2023 yang meminta masa jabatan kepada desa dari enam (6) tahun menjadi Sembilan (9) tahun merupakan fenomena tentang bergesernya kekuasaan, dari tanggungjawab jabatan, menjadi candu kekuasaan.

Sebagaimana diketahui, bahwa ketentuan tentang masa jabatan kepala desa telah diatur dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Baca: UU Desa) di Pasal 39 ayat (1) menyebutkan, “Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Sedangkan ayat (2) menegaskan  bahwa; “Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut”. Karena itu masa jabatan kepala desa maksimalnya adalah 18 tahun.

Jangka waktu masa jabatan kepala desa sangat panjang dibandingkan dengan masa jabatan lain yang diatur dalam UU. Rata-rata masa jabatan hanya lima (5) tahun dan dapat diperpanjang hanya untuk satu kali masa jabatan, kecuali hakim MK yang masa jabatannya hingga usia 70 tahun. Artinya, maskimal hanya sepuluh (10) tahun. Pembentuk UU Desa menetapkan masa jabatan kepala desa sebagai satu keputusan politik yang luar biasa, karena memberikan ruang yang panjang bagi kepala desa untuk membangun desanya. Ketentuan di UU Desa diatur ulang lagi dalam Pasal 47 PP Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Baca Juga :  Tim SIJAGAI Pangkep Melakukan Pemeriksaan Kesehatan di Rumah Ibadah

Permintaan Asosiasi untuk menambah masa jabatan menjadi 9 tahun ini tidak sederhana. Ada kecenderungan mereka “menikmati fasilitas” dan anggaran yang diberikan oleh Negara tanpa akuntabilitas yang baik. Karena minimnya akuntabilitas, akhirnya sebagian kepala desa menghadapi masalah hukum.

“Kenikmatan” menggunakan anggaran dan fasilitas mendorong mereka untuk meminta tambahan masa jabatan. Padahal sudah lama Lord Acton menuding, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (“Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan yang absolut, benar-benar korup secara absolut”).

Masa jabatan yang panjang bisa mengubah karakter seseorang, karena “rasa nyaman” dan kelimpahan fasilitas, bisa menyebabkan individu memiliki kecenderungan  hewani. Pada kecenderungan hewani inilah banyak yang tergelincir dalam lembah nista korup, manipulatif dan kadang otoriter. Karena itu, jika-pun masa jabatan di perpanjang, maka hanya untuk satu kali masa jabatan saja. Tidak perlu ada dua periode atau tiga periode. Sekalian diperpanjang untuk sepuluh (10) tahun, dan tidak dapat diperpanjang untuk satu atau dua kali masa jabatan lagi. ADN

Tags

Komentar

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

1610009175